Logo
Guru: Haruskah Ada?
Tanggal Post

14 September 2019

Author
Admin
Kategori
Pendidikan
guru-haruskah-ada

Kata Kunci: Mengarahkan, Menggiring ke, Guru, Kencenderungan, Ada, Moral, Etis, Terminologi..


    Peradaban umat manusia tidak pernah terlepas dari suatu proses “mengarahkan” dan “menggiring ke”. Dua hal penting dalam proses “mengarahkan” dan “menggiring ke” ialah kecenderungan positif dan kecenderungan negatif. Dua kecenderungan ini memiliki motivasi yang produktif baik secara moral maupun secara etis dengan perspektif yang berbeda pula. Sebab secara moral dan etis kecenderungan negatif selalu bertentangan dengan banyak aspek hiudp. Lantas banyak yang akan bertanya, mengapa kecenderungan negatif bisa produktif? Kecenderungan negatif pun sangat produktif, misalnya dalam dekonstruksi. Dalam artian bahwa nilai-nilai kebaikan di dalam hidup dirusak dan dihancurkan kemudian dibangun kembali dengan kecenderungan positif yang kaya akan moral dan etis. Atau dengan kata lain produktif secara moral dan etis. Tentu orang akan bertanya “ siapa pelaku di balik dua kecenderungan itu?” Jawaban yang sudah pasti benar ialah Guru.


Dalam agama-agama besar entah itu politeis maupun monoteis, pengertian guru memiliki makna yang sangat fundamental. Misalnya dalam agama Hindu, guru merupakan simbol bagi suatu tempat yang suci yang berisi ilmu atau yang dikenal dengan vidya dan juga pembagi ilmu. Seorang guru juga merupakan pemandu spiritual atau kejiwaan murid-muridnya. Dalam agama Budha, guru diartikan sebagai orang yang memandu muridnya menuju jalan kebenaran. Hal yang sama juga dalam Kristianitas, guru selalu diidentikkan dengan pribadi Yesus Kristus yang mengarahkan dan menggiring kepada Allah dalam keselamatan. Berangkat dari apa yang diartikan oleh setiap agama-agama besar di atas, muncul suatu pertanyaan klasik, mengapa harus guru? Mungkinkankah ia bisa ditiadakan? Mungkinkah dimanipulasi dengan terminologi lain? Dan siapa yang dituduhkan dengan terminologi itu?   Tentu jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaan itu tidak mungkin.

Bukan hal yang mudah untuk merenungkan terminologi guru itu. Siapa guru yang dimaksudkan oleh penulis dalam tulisan ini? Jawabannya adalah setiap “kecenderungan positif yang produktif”. Sebab guru tidak selalu identik dengan sosok yang selalu berdiri di depan murid dengan memegang kapur dalam sebuah proses pembelajaran di sekolah atau institusi sejenisnya. Persepsi ini harus direnungkan secara, mendalam. Perenungan ini lalu menimbulkan suatu pertanyaan baru, yakni haruskah ia (guru) ada? Istilah ‘ada’ dalam filsafat dapat diartikan sebagai sebuah realitas yang hadir secara total dan holistik yang syarat akan esensi dan eksistensi ( bdk. atc of to be, lebih tepat daripada act of being) Sederhanya ialah HARUSKAH SOSOK GURU ITU MEMILIKI ESENSI  DAN EKSISTENSI ? Nyaris tidak ada cela untuk mengatakan bahwa betapa tidak pentingnya esensi dan eksistensi dari dan bagi guru. Bahkan ia tidak bisa ditiadakan. Upaya untuk “mengarahkan” dan “menggiring ke” sebuah peradaban ke arah moral dan perilaku etis yang produktif tidak mungkin terlepas dari esensi dan eksistensi.

Lalu bagaimana mengaplikasikan sikap “mengarahkan” dan “menggiring ke” itu dalam dunia pendidikan saat ini? Sejauh mana eksistensi dan esensi memiliki kontribusi terhadap dunia pendidikan? Pergeseran paradigma yang sangat luar biasa atas terminologi guru. Pergeseran itu mencakup siapakah sosok guru saat ini? Media sosial kah? Konsumsi kah? Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial sangat mempengaruhi pola pikir dan tindakan setiap orang saat ini. Maka guru di zaman saat ini bisa diartikan dan diidentikkan dengan banyak hal. Mungkinkah itu bisa menyelamatkan? Mungkinkah itu menyelamatnya?
Mungkin juga sosok guru bisa tergantikan oleh konsumsi, melihat banyak orang saat ini berlomba – lomba untuk memiliki daya konsumsi yang tinggi. Pertanyaan yang sama pun akan timbul, mungkinkah konsumsi bisa menyelamatkan? Tentu dua hal ini menjadi titik berat bagi dunia pendidikan saat ini. Sebab dua hal itu hanya memiliki sifat-sifat yang dangkal, misalnya hanya bersifat informatif dan kepuasaan sesaat . Tentu sosial media sangat menyelamatkan namun belum tentu bermoral, demikian juga dengan konsumsi tentu menyelamatkan, namun tidak dalam pengertian etis dan moral.

Dan pertanyaan selanjutnya ialah, apakah masih relevan lembaga pendidikan saat ini? Tentu sangat relevan. Lembaga pendidikan tentu memiliki arah dan tujuan yang jalas dan sangat pasti, yakni mencerahkan dan mencerdaskan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalam masyarakat. Dengan kata lain, lembaga pendidikan tetap menjadi “pengarah” dan “penggiring” sejati. Lalu nilai apa yang bisa menjadi suatu jaminan? Nilai-nilai apa yang paling layak?  Etis dan moral-kah?. Dua hal ini menjadi “ruh” yang mestinya merasuki setiap pribadi untuk lebih sadar akan arti sosok guru yang sesungguhnya. Etis dan moral harus direnungkan dalam paradigma pendidikan yang semakin berubah, bukan sebuah fantasi yang mematikan. Dibutuhkan sebuah imaji tentang pencerahan yang mempertaruhkan sebuah kualitas .

- E. Ombri -

 

1 Esensi berarti apa yang membuat sesuatu menjadi apa adanya. Esensi mengacu pada aspek-aspek yang lebih permanen dan manyap dari sesuatu yang berlawanan dengan yang berubah-ubah, parsial, atau fenomenal.
2 Esksistensi berarti muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual.
3 Bdk. Jean Baudrillard, Masyarakat Konsumsi, ( Bantul: Kreasi Kencana, 2004), hlm. 73.
4 Bdk.  Colin Wringe, Moral Education, (USA: Springer, 2006), hlm. 18.
5 Bdk. R.S. Peters, Education And Education Of Teachers,( London: Routledge & Kegan Paul, 2005), hlm.3.


Sumber:

-    Baudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi. Bantul: Kreasi Kencana.
-    Wringe, Colin. 2006. Moral Education. USA: Springer.
-    Peters, R.S. 2005. Education And Education Of Teachers. London: Routledge & Kegan Paul.