Logo
Merdeka Belajar Menuju Pendidikan Ideal
Tanggal Post

26 Februari 2020

Author
Admin
Kategori
Pendidikan
merdeka-belajar-menuju-pendidikan-ideal

BELUM genap dua bulan menjabat, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sudah menggebrak dengan idenya, Merdeka Belajar. Bahkan, dia menyebut, Merdeka Belajar ini merupakan permulaan dari gagasan-gagasannya nanti yang juga akan diluncurkan untuk memerbaiki sistem pendidikan nasional yang terkesan monoton.

Merdeka Belajar menjadi salah satu program inisiatif Nadiem Makarim yang ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia, baik bagi murid maupun para guru.

Merdeka Belajar ini konon dilahirkan dari banyaknya keluhan orangtua pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya ialah keluhan soal banyaknya siswa yang dipatok nilai-nilai tertentu.

"Jadi ini yang menjadi sangat penting. Kita dari Kemendikbud ingin menciptakan suasana belajar di sekolah yang happy. Makanya, tag-nya Merdeka Belajar," kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, Ade Erlangga, dalam Diskusi Polemik tentang Merdeka Belajar Merdeka UN, di Jakarta.

Ade juga menjelaskan, tujuan Merdeka Belajar ialah agar para guru, siswa, serta orangtua bisa mendapat suasana yang bahagia. "Merdeka Belajar itu bahwa pendidikan harus menciptakan suasana yang membahagiakan. Bahagia buat siapa? Bahagia buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orangtua, untuk semua umat." papar Ade.

Secara keseluruhan, Merdeka Belajar yang diluncurkan Nadiem terdiri atas empat isu penting, yakni penggantian format ujian nasional (UN), pengembalian kewenangan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) ke sekolah, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang hanya satu lembar, dan naiknya kuota jalur prestasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) dari sebelumnya 15% menjadi 30%.

Ujian nasional yang selama ini menjadi pintu gerbang bagi para pelajar di Tanah Air untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi akan ditiadakan pada 2021 dan digantikan dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.

Pemberlakuan UN dianggap kurang tepat karena lebih mendorong siswa untuk menghafal bahan pelajaran, bukan memahaminya. Ujian nasional juga dianggap bisa menjadi sumber stres bagi pelajar, bahkan orangtua dan guru karena ada tuntutan pencapaian nilai yang tinggi.

Keberadaan UN yang lebih mengedepankan capaian nilai akademis dinilai bertentangan dengan prinsip pendidikan itu sendiri yang juga membutuhkan aspek psikologis dan perkembangan kepribadian siswa.

Tentang ketidakefektifan UN ini juga pernah disurvei PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 2012. Hasilnya, bahwa 70% masyarakat dan guru setuju UN dihapus.

Program penggantian format UN juga mendapat lampu hijau dari Komisi X DPR RI. Namun, sebagian menyatakan khawatir para guru tidak siap dengan sistem asesmen yang baru itu.

Alasannya, beberapa sekolah mungkin belum siap diberikan kebebasan untuk membuat sistem penilaian sendiri karena minimnya fasilitas dan kualitas guru. Hal tersebut dikhawatirkan bisa memperparah ketimpangan pendidikan.

Tanggapan yang beragam muncul dari kalangan pemerhati pendidikan. Sebagian mempertanyakan standar apa yang akan diterapkan secara nasional bila ujian nasional dihapus. Sebagian lain menilai kebijakan ini membuat guru lebih leluasa dalam menilai siswa didiknya.